Politik dan Berpolitik

Dewasa ini, banyak sekali orang yang bersikap fanatik terhadap politik. Sebenarnya masih menjadi pertanyaan, apakah mereka benar-benar tidak menyukai politik dalam artian yang sebenarnya, atau ia hanya tidak menyukai praktek politik yang beredar saat ini. Mindset dan stigma yang tertanam sangat berpengaruh pada praktek kehidupan nyata. Seseorang cenderung memandang dan berperilaku sesuai dengan pengalaman dan pemikiran yang ia percayai.

Rasanya, untuk menghilangkan stigma buruk “politik” perlu sekali untuk memahaminya dalam arti yang sebenarnya. Aristoteles sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata “politik” sebagai hakikat dari kehidupan sosial memandang politik sebagai sebuah kecenderungan yang tidak bisa dipisahkan dari diri seorang manusia. Politik dalam arti sebenarnya adalah cara yang dibangun demi terciptanya tujuan ataupun cita. Pemaknaan ini sangat luwes, tergantung bagaimana seseorang memaknainya, jika kepentingan itu bersifat individual atau kelompok tentu politik adalah hal yang tidak baik. Namun, jika tujuan yang dimaksud adalah tujuan demi mencapai kebaikan, kemajuan, kemakmuran dan keadilan kemanusiaan yang lebih tinggi lagi, tentu politik tidak bisa dimaknai secara buruk.

Belakang ini memang banyak terjadi penyimpangan politik dari tujuan aslinya, ditambah pengalaman buruk bangsa Indonesia dengan lika-liku politiknya, seakan menjadi pendorong bagi masyarakat memandang politik sebagai hal yang negatif. Mahasiswa yang katanya agent of change dan agent of control, seakan dibentuk untuk meneruskan jejak-jejak kotor politik para penguasa. Politik identitas dengan membawa isu agama, ras, suku etnis bahkan ormas tertentu masih terus menjadi polemik di negara tercinta, bahkan di dalam organisasi mahasiswa yang lingkupnya idealisme saja, praktik-praktik kecurangan seperti money politic, serangan fajar bahkan politik identitas sudah mulai ditanamkan. Lalu bagaimana bisa, kemudian hari para mahasiswa ini berteriak kencang tentang perubahan, nasib bangsa bahkan ketidak adilan?

Dalam literatur-literatur sejarah Islam, ada cerita yang cukup populer. Cerita ini datang dari Sultan Mehmed II atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Sultan Muhammad Al-Fatih. Dalam usianya yang masih 21 tahun, Sultan Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel setelah pertempuran selama 53 hari. Yang menarik dari kepemimpinan Sultan Mehmed II adalah gaya politik kepemimpinannya yang tersusun dengan rapi dan matang, sebelum ia menahlukkan banyak negara, ia melakukan perbaikan internal terhadap negaranya sendiri, mulai dari administrasi keuangan pusat dan daerah, pengembangan dan pengorganisasian ulang para batalyon pasukan, bahkan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pejabat-pejabat negaranya. Hal ini yang kemudian juga menunjang kestabilan dan kemajuan negaranya. Bahkan saat ia berhasil menahlukkan konstantinopel, ia menjadi pemimpin yang melindungi seluruh rakyat baik muslim maupun non-muslim. Pada hakikatnya, politik tidak selalu tentang kecurangan, penindasan, dan keburukan. Meskipun juga kadang sebaliknya.

Saya punya cerita pribadi tentang hal tersebut, saat itu saya dan kawan saya menghadiri suatu Event wilayah dalam pembahasan AD/ART yang nantinya juga dilanjut dengan penetapan pimpinan baru, setelah pasal-pasal dalam AD/ART disahkan dilakukankanlah pemilihan ketua yang baru. Namun ada yang sangat menarik dalam kejadian ini, karena dalam melanjutkan pemilihan ada satu syarat yang tidak terpenuhi, atau lebih tepatnya bertentangan dengan salah satu ayat dalam AD/ART oraganisasi tersebut, yang mana AD/ART dalam sebuah organsasi laksana konstitusi dalam sebuah negara hukum. Seorang kandidat yang mencalonkan diri mejawab ” jika begitu hapus saja ayat tersebut”. Redaksinya tentu tidak sepersis itu, tapi rasanya tidak terlalu jauh. Pada akhirnya pemilihan tersebut tetap dilanjutkan dengan melangkahi AD/ART yang sudah disepakati bersama sebelumnya. Padahal keadaannya tidak sedarurat itu, tapi ambisi Conflict Of Interest di  dalamnya sudah sangat terasa.

Saya jadi teringat dengan perkataan salah satu kawan yang berprofesi sebagai pengacara “Di negara berkembang seperti Indonesia,  politik lebih kuat daripada hukum”. Begitu katanya. Sebenarnya sangat mengecewakan, usulan “menghapus hukum demi politik” muncul dari salah satu kandidat yang nantinya akan memimpin. Padahal pada hakikatnya, politik harus tunduk pada hukum dan bukan sebaliknya (Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae).

Kita belajar hal-hal baik untuk diterapkan dan bukan untuk dimusnahkan. Di negara hukum, kita tidak bisa menghindar dan bersikap fanatik terhadap politik, sebab pada akhirnya kita tetap akan bersinggungan dengannya. Lebih dari itu kita harus membangun politik yang ideal, politik yang berdasar pada keadilan, kemanusiaan dan kemajuan bersama. Dimulai dengan rekonstruksi pemikiran negatif terhadap politik dan hasilnya membentuk praktik politik yang baik demi membawa bangsa dalam kemajuan yang sesungguhnya. Kemajuan suatu bangsa dimulai dari pola pikirnya.

Komentar

  1. Ada beberapa hal yg perlu diperhatikan, pertama yaitu perlunya dikoreksi dulu masalah typo. Kedua, mengenai ketika ada kata "di" ketemu dengan kata kerja dan kata keterangan, itu harus diperhatikan. Apakah kata "di" nya itu diposah atau disambung ketika ketemu kata keterangan dan kata kerja.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih🙂

Sambut Pemilu Serentak 2024, Siapkah Indonesia Terapkan E-voting?