Sambut Pemilu Serentak 2024, Siapkah Indonesia Terapkan E-voting?

*Hofifah
Email: Andrianyifa@gmail.com
*Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

               Perkembangan teknologi telah banyak memberikan manfaat yang signifikan karena memberikan berbagai kemudahan baik dari segi akses maupun biaya. Pemanfaatan teknologi juga telah menyebar luas ke berbagai sektor, termasuk dalam pelaksanaan pemilihan umum yang akan memacu efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya, yakni merubah dari proses konvensional kepada model pemungutan suara secara elektronik (electronic voting) atau e-voting.

E-voting adalah sistem pemilihan dengan data dicatat, disimpan dan diproses dalam bentuk informasi digital. Disisi lain jika berkaca pada putusan MK nomor 147 tahun 2009, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa norma-norma yang terkandung dalam e-voting telah sesuai dengan norma-norma yang harus ada dalam pencoblosan dalam Pasal 353 UU Pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 UU Tentang Pilkada. Dengan arti lain, sudah ada kekuatan yuridis terkait adanya e-voting ini. Teknologi e-voting dapat menjadi pilihan yang baik dalam menjalankan pemilu. Apalagi terdapat kekurangan-kekurangan dalam penerapan pemilu secara konvensional seperti yang telah terjadi selama ini. Namun demikian, teknologi e-voting juga tidak luput dari kekurangan.

E-voting pernah berhasil dilakukan di Indonesia

Di Indonesia, sebenarnya e-voting bukanlah suatu hal yang baru. E-voting sudah beberapa kali diterapkan, namun masih dalam skala kecil. Yang pertama kali dan dianggap berhasil adalah dalam pemilihan Kepala Dusun di Jembrana, Bali pada tahun 2009.

Selain Jembrana, daerah lain yang juga mengaplikasikan e-voting antara lain Musi Rawas Sumatera Selatan, Boyolali Jawa Tengah, serta simulasi Pilkada menggunakan e-voting di Pandeglang, dan simulasi e-voting Pilkada yang digelar oleh KPU Bantaeng Sulawesi Selatan didamping Universitas Hasanuddin dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Di sisi lain, pengguna internet di Indonesia sebanyak 210 juta jiwa. Tentu hal ini menjadi relevan dan merupakan potensi dan harus dimanfaatkan untuk masyarakat.

Jika pemilihan melalui e-voting dapat dilakukan dalam pilkades bahkan pilkada yang ruang lingkupnya masih menengah maka tidak menutup kemungkinan jika e-voting dapat dilaksanakan dalam skala pemilu nasional.

Menurut data dari AEC Project, sampai januari 2010 terdapat 43 negara yang sudah bersentuhan dengan e-voting. Diantaranya 12 negara yang mempraktekkan e-voting dengan mesin pemilihan, 7 negara yang mempraktekkan internet voting, 24 negara yang baru sampai pada tahap perencanaan dan percobaan e-voting dan 4 negara yang menghentikan pelaksanaan e-voting.

Maka jika berkaca pada fakta yang ada, persentase lebih banyak dimenangkan oleh negara yang berhasil menggunakan e-voting dari pada 4 negara yang memutuskan untuk memberhentikan pelaksanaan e-voting.

Regulasi dan kebijakan e-voting

Saat digunakannya e-voting dalam pemilu di Jembrana Bali. Pemda Jembrana berusaha untuk mengajukan judicial review terhadap Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir tahun 2009. Permohonan tersebut terdaftar di MK dalam permohonan Nomor 147/PUU-VII/2009. Tak hanya itu, Bupati Jembrana pun mengeluarkan peraturan daerah Kabupaten Jembrana nomor 1 tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan daerah Kabupaten Jembrana nomor 27 tahun 2006 tentang pencalonan, pemilihan, pelantikan dan pemberhentian perbekel.


Dalam Putusan-nya, MK menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah konstitusional bersyarat terhadap Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata, “mencoblos” dalam Pasal tersebut diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:

a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;

b. daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan

Putusan MK ini dapat menjadi payung hukum bagi pelaksanaan pemilu melalui e-voting di Indonesia, atau setidaknya dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah dan DPR dalam penyusunan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia.

Impect digunakannya e-voting dalam pemilu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IDEA International, dapat disarikan manfaat e-voting sebagai berikut:

1. Pentabulasian menjadi lebih cepat, serta penangan yang efisien dibanding sistem pemilu yang rumit dengan prosedur penghitungan yang melelahkan.

Apalagi berkaca dari pemilu 2019 yang perhitungan suara pada saat itu memakan korban ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Mengingat begitu banyaknya korban pada pemilu 2019, evoting bisa menjadi jalan keluar agar pesta demokrasi tidak menjadi ajang krisis humanisasi.

2. Meningkatkan kenyamanan pemilih

3. Pencegahan kecurangan di TPS karena mengurangi campur tangan manusia.

4. Meningkatkan aksesibilitas, misalnya mengunakan surat suara audio untuk tuna netra, atau menggunakan layar multibahasa yang dapat melayani pemilih multibahasa.

5. Potensi penghematan biaya, baik dari sisi paperless system, maupun dari sisi pekerja pemungutan suara, sampai pada penghematan biaya logistik dan distribusi. Memang jika dilihat dari biaya real e-voting, dengan adanya pembangunan fasilitas dan infrastruktur akan memakan biaya jauh lebih besar dari kertas. Namun, jika dibandingkan dengan biaya kertas yang hanya sekali pakai, biaya e-voting justru jauh lebih terjangkau, karena dapat digunakan berkali-kali pada pemilu beberapa tahun kedepan. Bahkan penggunaan e-voting ini telah menghemat anggaran lebih dari 60 persen terutama untuk kertas suara.

Bagaimana Kesiapan Indonesia?

Digitalisasi teknologi memang menjadi solusi dan implementasi terhadap pelaksanaan demokrasi. Meski begitu, juga tidak bisa terburu-buru dalam menetapkan suatu kebijakan. Mengingat, konteks pemilu tidak sesederhana pilkades dan pilkada, dengan kompleksitas yang berbeda pula. Jika dalam pilkades hanya memilih 1 kotak berisi kepala desa. Pilkada dengan dua kotak (gubernur dan bupati) Dalam pemilu bahkan harus memilih sampai dengan 5 kotak (Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kab/kota). Hal tersebut tentu berbeda dan tidak sama.

 

Negara-negara seperti Venezuela dan Belanda setelah memutuskan menggunakan e-voting, malah beralih kembali pada sistem pemilu manual. Jangan sampai pemilu 2024 hanya dijadikan uji coba penggunaan e-voting tanpa memperhatikan kesiapannya, jika sudah begitu maka esensi demokrasi tidak akan tercapai.

Di negara seperti Amerika saja masih sering terjadi saling retas hasil pemilu. Artinya, selain norma hukum, kita tidak bisa mengesampingkan kesiapan sosiologis masyarakat. Apabila dalam pradigma politik e-voting masih menimbulkan keraguan. Hukum tidak hidup diruang hampa, secara faktual hukum hidup ditengah-tengah masyarakat. Seyogyanya harus dipastiakn seluruh stuck holder yakin terhadap mekanisme e-voting.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih🙂

Politik dan Berpolitik