Penguatan Fungsi Kelembagaan Komisi Yudisial Dengan Amandemen UUD 1945, Apa Perlu?
Penguatan
Fungsi Kelembagaan Komisi Yudisial Dengan Amandemen UUD 1945,
Apa
Perlu?
Oleh:
Hofifah*
Email:
andrianyifa@gmail.com
*Mahasiswa Fakultas Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Hukum bersifat dinamis karena subtansinya
selalu dituntut untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Amandemen
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dilandasi atas
kesadaran bahwa undang-undang dasar adalah produk dari masanya, apa yang
tercantum di dalamnya tidak terlepas dari kenyataan yang dialami para penyusun
dan pembentuknya.[1]
Konstitusi adalah dokumen penting bagi
sebuah negara, menurut Bagir manan dan Kuntana Magnar setidaknya
konstitusi mengatur dasar-dasar pembagian dan pembatasan kewenangan
lembaga-lembaga negara[2],
sebagaimana dikemukakan oleh Lord Ackton Power Tends To Corrupt, and
Absolute Power Corrupts Absolutely[3],
ia mencoba menjelaskan bahwa kekuasaan cenderung disalah gunakan sehingga
sangat diperlukan untuk adanya pembatasan. Salah satu cara untuk membatasi
kekuasaan adalah melalui undang-undang dasar.
Adanya konstitusi adalah untuk membatasi
kekuasaan dalam sebuah negara, setidaknya konstitusi memuat tiga materi
penting, yaitu;[4]
·
Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia
·
Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar
·
Pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
juga mendasar
Ketiga materi tersebut juga ditemukan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Akan tetapi, setelah amandemen keempat kalinya UUD NRI 1945 ternyata masih ada
ketidak pastian hukum dengan pembatasan kewenangan komisi yudisial. Rekomendasi
penjatuhan sanksi pada hakim yang melanggar KEPPH juga hanya bisa dilakukan KY
bersama MA dengan menggelar sidang majelis kehormatan hakim (MKH). Tanpa MKH
bersama dengan MA, KY tidak bisa berbuat banyak dalam hal pengawasan hakim.
Disamping itu, tidak semua rekomendasi KY dilaksanakan oleh MA dengan alasan
masuk wilayah teknis yudisial. Dengan kata lain kewenangan KY dalam mengawasi
hakim masih sangat lemah. KY hanya bisa menghentikan hakim yang ia angkat,
sedangkan hakim MK bukan KY yang mengangkat, disinilah terjadi ketidak jelasan
dan ketidak pastian hukum, seakan-akan KY tidak murni sebagai KY yang tugasnya
mengangkat dan memberhentikan hakim, padahal mereka bertiga (MA, MK, KY) berada di bab yang sama didalam UUD 1945.
Meskipun setelah terbitnya UU No. 18
Tahun 2011 Tentang KY, dinilai cukup memperkuat fungsi pengawasan dan
kelembagaan KY, nyatanya, MA kembali berupaya untuk melemahkan KY, majelis hakim
mengabulkan SKB ketua MA dan ketua KY tahun 2009 tentang KEPPH, majelis hakim
menghapus delapan point KEPPH yaitu; Pint 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 dan 10.1, 10.2,
10.3, 10.4 karena dianggap bertentangan dengan pasal 39 ayat 4 dan pasal 41
ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman. Poin-poin 8 menyangkut
kewajiban hakim dalam berdisiplin tinggi sementara poin 10 menyangkut prinsip
bersikap profesional. Penghapusan poin-poin tersebut mengurangi kewenangan KY
dalam mengawasi hakim. Misalnya, poin 10.4 KEPPH, poin ini sering menjadi
perdebadatan antara MA dan KY karena posisinya beriringan dengan KEPPH dan
Teknis Yudisial, poin ini juga pernah dijadikan dasar KY mengusulkan sanksi
berat terhadap majelis hakim yang mengadili Antasari Azhar namun akhirnya ditolak
oleh MA.
Setiap putusan produk hukum kedua
pengadilan tersebut selalu dianggap bersifat akhir, mengikat, dan benar (pres
judicata pro veritate habetur). Oleh karena itu tidak ada jalan lain
kecuali mengamandemen UUD 1945 sebagai intrumen krusial untuk memperkuat
kewenangan konstitusional KY dalam mengawasi hakim. Sehingga akan tercipta
kemanfaatan dan kepastian hukum sesuai amanat konstitusi.
Putusan judicial review MK yang
membatalkan kewenangan KY, dan memberi pernyataan bahwa KY bukan lembaga negara
yang secara fungsional setingkat MA dan MK walaupun ketiganya dimuat dalam satu
bab yang sama dalam UUD 1945. Padahal kewenangan KY sudah diatur dalam pasal
24B ayat 1 UUD 19945 apakah tepat MK memutuskan bahwa KW hanya bisa mengawasi
hakim yang diseleksi oleh KY sendiri. Sedangkan dalam pasal 24C ayat 3 UUD 1945
telah menyebutkan sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh presiden
diajukan tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh presiden
apakah dengan begitu hakim konstitusi berhak lolos dari pengawasan KY? Jika
begitu, siapa yang mengawasi prilaku etik hakim konstitusi?
Idealnya, MA maupun MK tidak diperlukan
untuk membentuk dewan kode etik hakim dari lingkungan hakim sendiri untuk
mengawasi prilaku hakim, cukup diserahkan kepada komisi yudisial untuk
mengawasi hakim sedangkan hakim berfokus menyelenggarakan proses peradilan.
Landasan Filosofis
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebut bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum. Tradisi dinegara hukum sebagaimana yang
telah dianut oleh Indonesia dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan serta kenegaraan juga pemerintahan harus didasarkan atas hukum maka
karna itu harus tersedia sumber hukum yang pasti berupa perundang undangan yang
selanjutnya digunakan sebagai dasar negara. Kelemahan status kewenangan KY
dalam sistem hukum Indonesia harus dinilai sebagai suatu masalah yang cuku
serius dan menuntut untuk segera dislesaikan. UUD 1945 sebagai hirarki
peraturan perundang undangan tertinggi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 7
ayat 1 UU nomer 12 tahun 2011 haruslah dilakukan amandemen UUD NRI tahun 1945
sebagai upaya untuk membangun sistem hukum yang baik dengan memenuhi ketiga
aspeknya yaitu aspek keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Alasan paling mendasar dalam upaya
memperkuat kewenangan KY dalam sistem hukum Indonesia dengan menempuh jalan
amandemen karna alasan berikut. Pertama, putusan MK yang mengatakan hakim MK
tidak termasuk yang diawasi oleh KY sebenarnya tidak tepat karna pada
hakikatnya hakim konstitusi juga hakim yang perlu diawasi prilakunya oleh
pengawas yang bersifat eksternal.
Kedua, sejauh mana MK berwenang dalam
menafsirkan konstitusi?. Sangat perlu ramburambu yang jelas terhadap kewenangan
MK, pemberian kewenangan tanpa pembatasan justru berpotensi terhadap
penyelewengan sebagaimana adagium hukum power tens to corrupt and absolute
corrupts absolutely. Selain harus diperjelas apakah MK mempunyai judicial
review (JR), judicial preview (JP), ataukan kedua duanya.[5]
Landasan Sosiologis
Setelah amandemen ketiga UUD NRI tahun
1945 pada tahun 2001 dispakati terbentuknyya komisi yudisial yang diatur secara
khusus dalam pasal 24B ayat 1 UUD 1945, atas keprihatinn terhadap kondisi wajah
peradilan yang suram dan keadilan diindonesia yang tak kunjung tegap sampai
saat itu. KY mempunyai dua kewanangan konstitusif yaitu mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewnang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pada
perkembangannya,dalam rangka mengoprasionalkan keberadaan KY, dibentuklah UU
No.22 tahun 2004 tentang komisi yudisial pada 13 agustus 2004.
Akan
tetapi dalam perjalannnya KY mengalami banyak dinamika antara lain, pengujian
terhadap UU No,22 tahun 2004 ke MK oleh
sejumlah hakim agung. Melalui putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006, beberapa
kewenangan dalam tugas pengawasannya terhadap hakim dan hakim MK tidak berlaku.
Hal
ini berakibat pada ketidakjelasan status KY sebagai lembaga pengawas hakim yang
tugasnya mengangkat dan memberhentikan hakim sedangkan dalam putusan itu KY
tidak diberi kewenangan untuk mengawasi hakim konstitusi. Bahkan, MK menobatkan
diri sebagai lembaga yang untouctable dengan memutus hakim konstitusi
tidak termasuk objek pengawasan KY.
Berkaca pada kasus dugaan suap kepada hakim
konstitusi dalam pilkada dibengkulu selatan dan kabupaten simalungun diakhir
tahun 2010 menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa hakim konstitusi adalah
manusia biasa mengutip perkataan arief budiman “jikalau negeri ini dipimpin
oleh malaikat maka tidak perlu lagi lembaga pengawasan”.
Meski sudah pernah ada perubahan UU
Komisi Yudisial (KY) melalui UU No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 22
Tahun 2004 Tentang KY, kewenangan KY dalam mengawasi hakim dinilai masih
terbatas. Karena, kewenangan itu umumnya berakhir pada rekomendasi sanksi
kepada MA terhadap hakim-hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku
hakim (KEPPH). Yang berarti, ditindak lanjuti atau tidak tergantung MA.
Landasan Yuridis
Dasar hukum terkait KY diatur dalam Pasal
24B Ayat 1 ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”, pasal ini
menjelaskan bahwa selain mengangkat hakim, KY juga memiliki kewenangan terkait
KEPPH yang harus dipatuhi hakim. Yang selanjutnya diatur dalam UU No,22 tahun
2004
Setelah putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006,
kewenangan KY mengawasi hakim kontitusi dibatalkan karna tafsir yang dimaksud
hakim tidak termasuk hakim konstitusi. Seakan akan putusan ini menobatkan hakim
konstitusi sebagai pemilik kewenangan yang tidak terbatas. Padahal ketiga
lembaga tersebut (KY, MA, MK) berada dalam bab yang sama dalam UUD 1945 Bab IX
tentang kekuasaan kehakiman.
Pada perkembangannya UU No 22 tahun 2004
digantikan oleh UU No18 tahun 2011, UU ini dalam sudut pandang yuridis masih terdapat
ketidakjelasan hukum, khususnya mengenai KY sebagai lembaga yang tugasnya
mengangkat dan memberhentikan hakim. Dalam pasal itu, KY hanya bisa
merekomendasikan sangsi kepada MK, dan rekomendasi sangsi tersebut hanya bisa
dilakukan KY bersama MA dengan menggelar sidang majelis kehormatan hakim (MKH).
Tanpa MKH bersama MH, KY tidak bisa berbuat banyak dalam hal pengawasan hakim.
Bahkan, tidak semua rekomendasi KY dilaksanakan oleh MA dengan alasan masuk
wilayah teknis yudisial. Kewenangan ini tentu dinilai masih sangat lemah.
Kesimpulan
Lemahnya kewenangan KY dalam mengawasi
hakim manjadi masalah baru dalam sistem lembaga hukum nasional, hal ini terjadi
karna kewengan KY masih terikat dengan MKH bersama MA dan KY tidak memiliki
kewenangan mengawasi hakim MK. Dalam hal ini, permasalahan hanya dapat
diselesaikan melalui amandemen ke-5 UUD 1945
Alasan
yang menjadi dasar pertimbangan dilakukannya amandemen UUD 1945 adalah sebagi
berikut:
1. Putusan MK yang
mengatakan hakim MK tidak termasuk dalam pengawasan KY, dan menyatakan KY bukan
lembaga negara yang secara fungsional setingkat MA dan MK (padahal ketiganya
berada dalam bab yang sama dalam UUD 1945) dinilai tidak tepat karna pada
hakikatnya hakim konstitusi juga hakim yang perlu diawasi prilakunya oleh
pengawas yang bersifat eksternal.
2. Dibutuhkan rambu-rambu
yang jelas terkait kewenangan MK, pemberian kewenangan tanpa pembatasan justru
berpotensi terhadap penyelewengan.
3. Lemahnya kewenangan
KY dalam hal pengawasan hal ini terjadi karena kewengan KY hanya sebatas
memberikan saran sanksi pada MA, dan saran sanksi itu hanya bisa dilakukan
dengan MKH bersama MA. MA bisa memilih untuk melaksanakannya atau juga tidak
Perubahan UUD NRI didasari atas landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dalam
mengamandemen UUD 1945 usul perubahannya adalah mengeluarkan KY dari bab yang
sama dengan MA dan MK (bab IX tentang kekuasaan kehakiman) serta ruang lingkup
penormaan pengawasan hakim perlu disebut secara jelas dan tegas dalam UUD 1945.
Misalnya KY berwenang mengawasi semua hakim yaitun hakim agung, hakim
konstitusi, dan hakim dibawah MA. Agar tidak menimbulkan penafsiran lain dalam
berbagai utusan legislasi. Selain itu, KEPPH juga perlu dimasukkan dalam UU KY
dan UU kekuasaan kehakiman agar tidak mudah dirubah secara conflict of
interest.
[1] Sri Soemantri, Konstitusi Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007), Hlm. 4.
[2] Elydar Chaidir, hukum dan teori
konstitusi,(Yogyakarta; Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007), hlm. 44
[3] Susanto Supiandhy, Meredesain
Konstitusi, (Yogyakarta, KEPEL Press, 2004), hlm. 24
[4] A. M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca
Amandemen UUD 1945, cet. 2 (Jakarta; Kompas, 2009), hlm. 200
[5] Jimli asshiddiqie, model model
pengujian konstitusional dibeberapa negar, (Jakarta: kontitusi press, 2005.
Komentar
Posting Komentar